canopuselegies
3 min readApr 4, 2023

Untouchable (1)

Malam semakin mencekam. Hembusan angin terasa dingin menerpa wajah. Hening menyelimuti seluruh negeri.

Di tengah aula kerajaan yang megah, dua sosok remaja tampak tegang dikelilingi oleh sekelompok orang berjubah hitam. Orang — orang itu menghunuskan pedang mereka ke arah dua remaja di tengah mereka. Seorang laki — laki dan seorang perempuan. Mereka menodongkan senjata itu dengan gerakan mengancam. Kedua remaja itu tak berkutik. Mereka tidak punya senjata untuk melindungi diri.

Remaja laki — laki itu, Ale, ia tampak kelelahan, wajah letihnya diselimuti oleh darah yang sudah mengering, matanya sayu dengan kedua kelopak mata hampir tertutup. Ia sudah berada pada batasnya. Tetapi ia tidak boleh menyerah, tidak untuk saat ini, karena ada seseorang yang harus ia lindungi. Darah segar menetes dari lukanya yang lain, entah berapa banyak sayatan di tubuhnya, ia pun sudah lupa. Satu yang ia pegang, gadis itu harus selamat. Anya harus selamat. Entah bagaimana caranya. Sekalipun tubuhnya hancur, selama Anya baik — baik saja, ia tak akan mengharapkan apapun lagi.

Anya yang berdiri di belakangnya semakin mengeratkan genggamannya pada jaket kulit yang dikenakan Ale. Matanya menatap awas pada gerombolan orang berjubah hitam di hadapannya. Ia tahu kawannya sudah hampir tumbang. Otaknya berputar memikirkan berbagai skenario yang sekiranya bisa menyelamatkan mereka dari situasi ini. Skenario dimana mereka berdua bisa selamat.

Seorang dari kelompok berjubah hitam itu maju perlahan. Ia menurunkan pedangnya dan menurunkan kain yang menutupi wajahnya, cukup untuk memperlihatkan sosok lelaki muda berusia 30-an. Matanya hitam, mengilat tajam, pandangannya menembus kedua sosok remaja di hadapannya.

“Serahkan gadis itu pada kami-”

Pria itu berkata perlahan. Ia bisa melihat tubuh Ale menegang. Genggaman Anya pun tanpa sadar semakin mengerat.

“-dan kita semua akan keluar dari tempat ini hidup - hidup,”

Kedua tangan Ale mengepal. Ia tersudutkan di sini. Ia tidak memiliki apapun yang bisa menjamin baik keselamatannya sendiri maupun keselamatan gadis yang bersembunyi di balik punggungnya itu. Ia menggigit bibir bawahnya, memejamkan mata sejenak lalu membukanya kembali. Anya sudah akan maju menyerahkan dirinya, namun perkataan Ale membuyarkan semua skenarionya.

“Kalau begitu, ini akan menjadi kuburan kita,”

Kedua mata gadis itu membulat, terkejut atas perkataan yang-menurutnya-dilontarkan tanpa berpikir itu.

“Kau sudah gila?!”

“Kau punya ide lain? Kalau tidak, maka bantu aku.. bantu aku menjaga kita berdua tetap hidup sampai mereka tiba,”

Ale segera memasang kuda — kuda. Siap tidak siap, ia akan melawan sampai titik darah penghabisan.

“Demi Tuhan, jika kita mati di sini, aku bersumpah akan mengobrak abrik neraka untuk membunuhmu dengan tanganku sendiri,”

Anya berdecak, namun tetap mengikuti kawannya itu.

Saat ujung pedang itu sudah akan menggores leher Ale, tiba — tiba terdengar debuman keras diikuti suara puluhan orang yang masuk ke dalam aula.

“Mereka sudah tiba,”

Ale menghela nafas lega. Namun itu tak berlangsung lama, karena pedang pria itu tiba — tiba menusuknya dari belakang, menambah luka baru di tubuhnya yang sudah babak belur. Kedua matanya membesar, mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan suara.

Sakit. Ini sakit sekali.

“ALEGORI!”

Ale jatuh berlutut ketika pria itu menarik keluar pedangnya. Pandangannya mengabur, tangannya terulur berusaha untuk menggapai Anya. Hal terakhir yang dilihatnya sebelum gelap mengambil alih dunianya adalah Anya yang menangis sembari pria itu menyeretnya pergi.

Anya..

canopuselegies
canopuselegies

Responses (1)